Kamis, 27 Agustus 2015

Tantangan Menata Kemilau Doko




Oleh: Faris Bobero

Salah satu penambang Batu Bacan saat bekerja di dalam lubang tambang di Pulau Kasiruta Timur, Halmahera Selatan. (Foto : Dicky Iwin)
Dulunya Tanjung Golao tak ada penghuni. Memasuki tahun 2013, masyarakat dari dalam dan luar daerah mulai tumpah ruah di sini – berburu  rupiah dengan cara menambang batu  Bacan Doko.

Tanjung Golao tepatnya berada di Kampung Doko, Kecamatan Kasiruta Timur, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Mata pencarian masyarakat Doko umumnya adalah petani cengkeh, kopra, dan nelayan. akibat harga pasar mempengaruhi harga batu, masyarakat pun beralih pekerjaan sebagai penambang batu. 

Asbaha Rijal (33), petani yang beralih sebagai penambang batu Bacan Doko berkisah, ketika di temui pada Sabtu pekan lalu di sebuah rumah terpal – tempat  tinggalnya bersama enam penambang lainnya di Tanjung Golao. Rumah terpal tersebut dinamakan Mes Oma Moy.

Mes Oma Moy adalah salah satu rumah terpal yang dibuat oleh para penambang. Asbaha sendiri sebagai Kepala Rep (Kepala Rep atau kordinator kelompok penambang). Selain kelompok dari Asbaha, kurang lebih ada 7000 penambang yang datang tinggal di Tanjung Golao.

Dari 7000 penambang yang tergabung dalam kelompok memiliki 200 lebih lubang tambang batu  Bacan Doko. Satu kelompok terdiri dari tujuh orang dan satu lubang tambang dikerjakan oleh lima kelompok. 

Di dalam rumah terpal, para penambang tidur seadanya, tempat tidur dibuat layaknya tandu pramuka berbahan karung beras, sisi tempat tidur menggunakan ranting yang dimanfaatkan dari pohon di pulau itu.

Pagi harinya, para penambang batu memulai aktivitas menambang menuju lokasi lubang penggalian. Di sebuah lubang dengan kedalaman 40-50 meter lebar 2,5 meter, para penambang ini mulai berburu rupiah, berharap jika mendapat batu  berkualitas bisa dijual ke luar.

Asbaha berdiam diri sejenak di depan lubang. Matanya mengatup, tangannya dianggkat setinggi bahu. Mulut Asbaha bergerak. Begitu proses mendoakan kesalamatan sebelum masuk ke dalam lubang tambang itu.

Asbaha dan beberapa teman penambang mulai masuk dengan berbekal palu, linggis kecil, dan parfum. “Sebelum menambang, parfum harus disemprot ke dinding batu terlebih dahulu,” ungkap Asbaha.

Setiap dua jam, para penambang bergantian masuk lubang untuk memahat bongkahan batu. Para penambang lainnya sambil menunggu, mereka bermain catur yang buah caturnya memakai sisa-sia batu Bacan Doko. Sementara yang lainnya menjaga mesin blower, mesin udara yang dinyalakan menggunakan genset.

Blower tersebut dipasangi plastik bening menyerupai selang. Plastik tersebut kemudian dimasukkan ke dalam lubang agar udara dapat masuk ke dalam lubang hingga penambang leluasa bernapas.

Hasil dari menambang tidak menentu, dalam seminggu, para penambang bisa menghasilkan 100-200 juta. Sistem pendapatan menyerupai penghasilan petani kopra, yakni menggunakan sistem bagi hasil.

Para penambang tidak menyewa lahan tambang dari pemilik kebun. Hanya saja, hasil dari pertambangan dibagi hasil dengan pemilik lahan. 

“Pemilik lahan bisa mendapat dua bagian, sebagai pemilik lahan dan penunjuk lokasi lubang tambang. Upahnya, sama dengan upah para penambang,” jelas Asbaha. 

Sebelum batu Bacan Doko tenar dari dalam dan luar negeri, Tanjung Golao dijadikan kebun kopra oleh penduduk lokal Kampung Doko, penduduk lokal pun mengambil batu akik seadanya untuk dijual murah bahkan ditukar dengan tembakau, beras, dan gula seadanya.

Meskipun begitu, batu akik tersebut dijual cukup mahal di luar daerah. Hingga pada tahun 2000-an, penduduk setempat mulai mengetahui akan harga pasar batu  Bacan Doko di luar daerah yang dipatok cukup mahal itu. Masyarakat lokal pun mulai menambang.

Paska tahun 2013, penambang dari luar daerah mulai berdatangan, menempati Tanjung Golao. Penduduk lokal pemilik lokasi kebun tidak lagi mengerjakan kopra, mereka menyerahkan lokasi kebun kepada penambang untuk mencari batu akik.

Penambang berdatangan dari dalam dan luar daerah Maluku Utara. Tidak hanya penambang, pembeli dan pedagang batu akik pun berdatangan. Pedagang sembaku pun membangun kios-kios kecil di pulau itu.

Harga transportasi dan sembako pun naik. Dulunya, penduduk lokal hanya mengeluarkan uang senilai Rp100.000 untuk sampai ke Kampung Doko dan Palameda menggunakan speed boat. Kini, para pengguna speed boat harus mengeluarkan uang senilai Rp.200.000 untuk sampai di Kampung Doko saja. 

Ketua Asosiasi Speed boat Sofyan mengatakan, semenjak tenarnya batu Bacan Doko, orang-orang mulai berdatangan. Hal tersebut membuatnya harus ekstra keras mengurus jalur transportasi dan ketersediaan speed boat.

“Dulu, hanya ada 10 buah speed boat, hingga pada tahun 2015 sudah ada 67 buah speed boat untuk jalur ke pulau Golao, Doko, dan Palamea,” kata Sofyan.


Dampak Sosial Lingkungan

Ketenaran batu Bacan Doko hingga ke luar negeri tidak sebanding dengan situasi yang dihadapi masyarakat Doko. Perubahan mata pencarian dan dampak lingkungan mulai terasa.
 
Masyarakat jelas digiurkan dengan harga batu Bacan Doko. Hal tersebut karena hasil bertani cengkeh, kopra, dan nelayan begitu jauh dari hasil menambang batu Bacan Doko. 

“Harga Batu Bacan Doko mempengaruhi kehidupan masyarakat Doko yang dulunya petani dan nelayan. Banyak anak-anak memilih tidak sekolah dengan alasan bekerja sebagai penambang batu  lebih menghasilkan,” kata Darmin. 

“Selain itu, batu Bacan adalah sumber daya alam yang tidak tergantikan, jika terus diambil secara massif maka akan habis. Masyarakat yang dulunya bertani dan nelaian bisa jadi akan kembali ke situasi yang sulit,” tambahnya.  

Munawir (28) Pemuda asal Kasiruta Timur mengatakan, tergiuarnya masyarakat akan harga batu ini jelas mempengaruhi kehidupan masyarakat Kampung Doko jika tidak diimbangi dengan pemahaman akan pentingnya pendidikan.

Bahkan, menurutnya, terjadi persaingan kelas dikalangan masyarakat itu sendiri. Tradisi pun kian berubah. Jika dulunya masyarakat saling memberikan makanan, kini tradisi tersebut kian menghilang. 

“Jika dulunya, tetangga bisa makan di rumah tetangga sebelahnya, kini tidak lagi. Situasi sekarang terbangun kelas sosial antara kaya dan miskin karena uang hasil bertambang batu Bacan Doko dan,”katanya. 

Menurutnya, tak sedikit masyarakat lokal yang kaget dengan penghasilan akan batu Bacan Doko. Bahkan, ada yang kebingungan pendapatan tersebut diperuntukkan bagaimana.  


“Selain itu, dari 100 persen masyarakat Doko yang berbisnis batu Bacan Doko, hanya 30 persen yang menggunakan hasil pertambangan dengan menyekolahkan anak-anak dan membeli barang yang berguna untuk memutar modal,”  tambahnya.

Di samping itu, kesadaran akan dampak lingkungan mulai terasa dikalangan para penambang dengan maraknya para penambang berdatangan di Pulao Doko. Jika dulunya masyarakat lokal menambang batu Bacan Doko dengan melihat kondisi tanah, kini, para penambang mulai menambang di daerah yang rawan akan terjadinya longsor.

“Penambang mulai banyak berdatangan dari seluruh daerah. Mereka mulai menambang di daerah perbukitan. Jika tidak diperhatikan, akan terjadi longsor ketika hujan,” ungkap salah satu penambang Amrin Pelu (28), warga Wayamiga, Bacan.

Amrin yang juga pernah bekerja sebagai penambang emas ini khawatir dengan pembiaran tersebut, bahkan pemerintah daerah sendiri tidak pernah melakukan pendampingan dan pemahaman akan dampak lingkungan. “Selama ini pemerintah bahkan dinas Pertambangan tidak pernah datang ke sini,”katanya.

Selasa, 11 Agustus 2015

Dusun Raja yang Hilang

Dusun Raja atau Raki Ma’amoko adalah sebuah kebun besar dengan sumber makanan yang banyak yang dimanfaatkan oleh komunitas O’Hongana Manyawa Dodaga. Meskipun kepemilikan lahan kebun milik satu marga namun peruntukan hasil panen untuk semua orang.

Pada Senin, (09/03/2015), Saya bersama Andri Ummamith berkunjung ke Bivak, Opa Tanganiki bersama Istrinya. Malam itu di Kebun lansa yang tidak jauh dari daerah transmigrasi.
daerah Trans dulunya hutan lebat, hanya di Dusun Raja Lansa dan Dusun Raja Sagu yang tidak berhutan sebab di situ adalah sumber kebun makanan yang dirawat untuk komunitas mereka. Semua orang bisa datang memanen buah lansa dan sagu untuk pemenuhan kebutuhan di rumah. Bahkan, secara gotong-royong menjaga kebersihan Dusun Raja tersebut.

“Orang dari Maba, Buli bisa datang di Dusun Raja untuk ambel Sagu dan lansa,” kata Opa Tanganiki.
Pemilik Dusun Raja Lansa adalah kakek dari Almarhum Lopa-lopa, saat penggusuran untuk membangun SP 4, pihak perusahan yang mengerjakan proyek tersebut tidak berkordinasi dengan pemilik dusun.

“Yang kerja bikin SP itu dari perusahan dong pe nama perusahan PT Sandara. Lopa-Lopa datang marah-marah, bawa panah dan parang, merontak karena Dusun Raja digusur. Tapi saat itu juga pihak perusahan kasih ganti rugi pake doi jadi suda tidak masalah,” Kata Opa Kasiang, yang saat itu juga berada di bivak bersebelanan dengan bivak Opa Tanganiki.

Sebagian warga komunitas tidak melakukan penolakan karena lahan tersebut adalah hak milik keluarga Almarhum Lopa-Lopa. Yang kini tersisa hanyalah Dusun Raja dengan sumber makanan Sagu yang juga berdekatan dengan lokasi SP 4 dekat jembatan, di samping jalan. Beberapa komunitas mendiami Dusun Raja Sagu tersebut sebagai sumber makanan.

“Dulu, saya punya kebun juga ada di SP 4, luas 2 hektar, saya tanam ubi, petatas, pisang, dan sayur-sayur. Waktu itu orang PT Sandra datang gusur, saya minta ganti rugi Rp.150.000 tapi orang PT Sandra tramau, jadi dong kasih Rp.25.000 dengan beras 50kg saja. Saya tidak melawan karena saya tidak sekolah tinggi to, tidak tahu hukum,” Kisahnya.

Dengan masuknya transmigrasi, pola konsumtif Om Kasiang pun beragam, yang dulunya makan sagu, ubi, petatas, dan padi ladang, kini lebih bergantung dengan padi sawa. Selain itu, untuk kebutuhan minum, cenderung membeli air gelon dengan harga Rp,700 karna sungai sudah tercemar dengan limbah produksi daging sapi dan pupuk tanaman yang dicuci di sungai.

Namun, masih ada hal lama yang dilakukan oleh orang Jawa di transmigrasi dengan komunitas O’Hongana manyawa yakni sistem barter. “Saya pe maitua itu sering ke Trans bawa pisang, ubi, petatas untuk tukar dengan beras. Sampai sekarang masih dilakukan”.

Sebelumnya Opa kasiang tinggal berpindah-pindah di hutan Dodaga, pada tahun 1959 ada guru dari buli datang di Dodaga, Om kasiang dan beberapa teman sempat belajar selama tiga tahun. Saat itu, mata pelajaran berhitung, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu bumi, dan menggambar.

“Berhitung itu ada namanya remis, 1 remis=5 sen. Ketip misalnya 1 ketip= 10 sen, dan pelajaran kelip. 1 kelip=5sen, pelajaran kelip sama dengan pelajaran remis yakni 1 kelip atau 1 remis = 5sen”.
Pada tahun 1963, masuk bantuan sosial melalui Kementerian Sosial terkait dengan program Resettlement dengan menggunakan istilah “rumah kumuh” dan perumahan bagi “tuna budaya” (Isitilah ini dipakai oleh pemerintah untuk menyebut O’Hongana Manyawa yang masih hidup di hutan) sekaligus membuat desa Dodaga. Saat itu berkisar 40 Kepala Keluarga (KK) komunitas O’Hongana manyawa termasuk Opa Kasiang dikeluarkan dari hutan untuk menempati rumah kumuh yang disediakan. Namun, masih ada 30 KK yang memilih tidak keluar. Saat itu juga sekolah mulai mengunakan seragam.

Pada tahun 1957, kembali lagi program perumahan diadakan di Rai Tukur-Tukur, Opa Kasiang juga termasuk yang mendapatkan bantuan rumah tersebut di Rai Tukur-tukur yang menjadi anak dusun dari desa Dodaga.