Salah satu penambang Batu Bacan saat bekerja di dalam lubang tambang di Pulau Kasiruta Timur, Halmahera Selatan. (Foto : Dicky Iwin) |
Dulunya Tanjung
Golao tak ada penghuni. Memasuki tahun 2013, masyarakat dari dalam dan luar
daerah mulai tumpah ruah di sini – berburu rupiah dengan cara menambang batu Bacan
Doko.
Tanjung Golao tepatnya berada di Kampung Doko,
Kecamatan Kasiruta Timur, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Mata
pencarian masyarakat Doko umumnya adalah petani cengkeh, kopra, dan nelayan.
akibat harga pasar mempengaruhi harga batu, masyarakat pun beralih pekerjaan
sebagai penambang batu.
Asbaha Rijal (33), petani yang beralih sebagai
penambang batu Bacan Doko berkisah, ketika di temui pada Sabtu pekan lalu
di sebuah rumah terpal – tempat tinggalnya bersama enam penambang lainnya di Tanjung
Golao. Rumah terpal tersebut dinamakan Mes Oma Moy.
Mes Oma Moy adalah salah satu rumah terpal yang dibuat oleh para penambang. Asbaha sendiri sebagai Kepala Rep (Kepala Rep atau kordinator kelompok penambang). Selain kelompok dari Asbaha, kurang lebih ada 7000 penambang yang datang tinggal di Tanjung Golao.
Dari 7000 penambang yang tergabung dalam
kelompok memiliki 200 lebih lubang tambang batu Bacan Doko. Satu kelompok
terdiri dari tujuh orang dan satu lubang tambang dikerjakan oleh lima kelompok.
Di dalam rumah terpal, para penambang tidur
seadanya, tempat tidur dibuat layaknya tandu pramuka berbahan karung beras,
sisi tempat tidur menggunakan ranting yang dimanfaatkan dari pohon di pulau
itu.
Pagi harinya, para penambang batu memulai
aktivitas menambang menuju lokasi lubang penggalian. Di sebuah lubang dengan
kedalaman 40-50 meter lebar 2,5 meter, para penambang ini mulai berburu rupiah,
berharap jika mendapat batu berkualitas bisa dijual ke luar.
Asbaha berdiam diri sejenak di depan lubang. Matanya
mengatup, tangannya dianggkat setinggi bahu. Mulut Asbaha bergerak. Begitu
proses mendoakan kesalamatan sebelum masuk ke dalam lubang tambang itu.
Asbaha dan beberapa teman penambang mulai
masuk dengan berbekal palu, linggis kecil, dan parfum. “Sebelum menambang,
parfum harus disemprot ke dinding batu terlebih dahulu,” ungkap Asbaha.
Setiap dua jam, para penambang bergantian
masuk lubang untuk memahat bongkahan batu. Para penambang lainnya sambil
menunggu, mereka bermain catur yang buah caturnya memakai sisa-sia batu Bacan
Doko. Sementara yang lainnya menjaga mesin blower, mesin udara yang dinyalakan
menggunakan genset.
Blower tersebut dipasangi plastik bening
menyerupai selang. Plastik tersebut kemudian dimasukkan ke dalam lubang agar
udara dapat masuk ke dalam lubang hingga penambang leluasa bernapas.
Hasil dari menambang tidak menentu, dalam
seminggu, para penambang bisa menghasilkan 100-200 juta. Sistem pendapatan
menyerupai penghasilan petani kopra, yakni menggunakan sistem bagi hasil.
Para penambang tidak menyewa lahan tambang
dari pemilik kebun. Hanya saja, hasil dari pertambangan dibagi hasil dengan
pemilik lahan.
“Pemilik lahan bisa mendapat dua bagian, sebagai
pemilik lahan dan penunjuk lokasi lubang tambang. Upahnya, sama dengan upah
para penambang,” jelas Asbaha.
Sebelum batu Bacan Doko tenar dari dalam
dan luar negeri, Tanjung Golao dijadikan kebun kopra oleh penduduk lokal
Kampung Doko, penduduk lokal pun mengambil batu akik seadanya untuk dijual
murah bahkan ditukar dengan tembakau, beras, dan gula seadanya.
Meskipun begitu, batu akik tersebut dijual
cukup mahal di luar daerah. Hingga pada tahun 2000-an, penduduk setempat mulai
mengetahui akan harga pasar batu Bacan Doko di luar daerah yang dipatok
cukup mahal itu. Masyarakat lokal pun mulai menambang.
Paska tahun 2013, penambang dari luar daerah
mulai berdatangan, menempati Tanjung Golao. Penduduk lokal pemilik lokasi kebun
tidak lagi mengerjakan kopra, mereka menyerahkan lokasi kebun kepada penambang
untuk mencari batu akik.
Penambang berdatangan dari dalam dan luar
daerah Maluku Utara. Tidak hanya penambang, pembeli dan pedagang batu akik pun
berdatangan. Pedagang sembaku pun membangun kios-kios kecil di pulau itu.
Harga transportasi dan sembako pun naik.
Dulunya, penduduk lokal hanya mengeluarkan uang senilai Rp100.000 untuk sampai
ke Kampung Doko dan Palameda menggunakan speed boat. Kini, para pengguna speed
boat harus mengeluarkan uang senilai Rp.200.000 untuk sampai di Kampung Doko
saja.
Ketua Asosiasi Speed boat Sofyan mengatakan,
semenjak tenarnya batu Bacan Doko, orang-orang mulai berdatangan. Hal
tersebut membuatnya harus ekstra keras mengurus jalur transportasi dan
ketersediaan speed boat.
“Dulu, hanya ada 10 buah speed boat, hingga
pada tahun 2015 sudah ada 67 buah speed boat untuk jalur ke pulau Golao, Doko,
dan Palamea,” kata Sofyan.
Dampak Sosial Lingkungan
Ketenaran batu Bacan Doko hingga ke luar
negeri tidak sebanding dengan situasi yang dihadapi masyarakat Doko. Perubahan
mata pencarian dan dampak lingkungan mulai terasa.
Masyarakat jelas digiurkan dengan harga batu
Bacan Doko. Hal tersebut karena hasil bertani cengkeh, kopra, dan nelayan
begitu jauh dari hasil menambang batu Bacan Doko.
“Harga Batu Bacan Doko mempengaruhi kehidupan
masyarakat Doko yang dulunya petani dan nelayan. Banyak anak-anak memilih tidak
sekolah dengan alasan bekerja sebagai penambang batu lebih menghasilkan,” kata Darmin.
“Selain itu, batu Bacan adalah sumber daya
alam yang tidak tergantikan, jika terus diambil secara massif maka akan habis.
Masyarakat yang dulunya bertani dan nelaian bisa jadi akan kembali ke situasi
yang sulit,” tambahnya.
Munawir (28) Pemuda asal Kasiruta Timur
mengatakan, tergiuarnya masyarakat akan harga batu ini jelas mempengaruhi
kehidupan masyarakat Kampung Doko jika tidak diimbangi dengan pemahaman akan
pentingnya pendidikan.
Bahkan, menurutnya, terjadi persaingan kelas
dikalangan masyarakat itu sendiri. Tradisi pun kian berubah. Jika dulunya
masyarakat saling memberikan makanan, kini tradisi tersebut kian menghilang.
“Jika dulunya, tetangga bisa makan di rumah
tetangga sebelahnya, kini tidak lagi. Situasi sekarang terbangun kelas sosial
antara kaya dan miskin karena uang hasil bertambang batu Bacan Doko
dan,”katanya.
Menurutnya, tak sedikit masyarakat lokal yang
kaget dengan penghasilan akan batu Bacan Doko. Bahkan, ada yang kebingungan
pendapatan tersebut diperuntukkan bagaimana.
“Selain itu, dari 100 persen masyarakat Doko
yang berbisnis batu Bacan Doko, hanya 30 persen yang menggunakan hasil
pertambangan dengan menyekolahkan anak-anak dan membeli barang yang berguna
untuk memutar modal,” tambahnya.
Di samping itu, kesadaran akan dampak lingkungan
mulai terasa dikalangan para penambang dengan maraknya para penambang
berdatangan di Pulao Doko. Jika dulunya masyarakat lokal menambang batu Bacan
Doko dengan melihat kondisi tanah, kini, para penambang mulai menambang di
daerah yang rawan akan terjadinya longsor.
“Penambang mulai banyak berdatangan dari
seluruh daerah. Mereka mulai menambang di daerah perbukitan. Jika tidak
diperhatikan, akan terjadi longsor ketika hujan,” ungkap salah satu penambang
Amrin Pelu (28), warga Wayamiga, Bacan.
Amrin yang juga pernah bekerja sebagai
penambang emas ini khawatir dengan pembiaran tersebut, bahkan pemerintah daerah
sendiri tidak pernah melakukan pendampingan dan pemahaman akan dampak
lingkungan. “Selama ini pemerintah bahkan dinas Pertambangan tidak pernah datang
ke sini,”katanya.