Wajah riang tergambar sudah, ada long boat milik Keuskupan Agats yang
akan ke Mumugu Batas Batu, tepat pada 07 Desember 2013 waktunya balik. Saat itu, hampir seluruh badan Long boat berisikan
puluhan bibit anakan tanaman pohon nangka, jeruk, dan salak yang berduri itu. 50 dos besar berisi
bubur menambah berat muatan.
Kali ini, saya, Pulunk, dan Ansel yang berangkat bersama dua
motoris. Kita bertiga tidak dapat duduk dengan leluasa di atas long boat.
Salah-salah, tertikam oleh duri
pohon salak itu.
Di tengah
perjalanan, arus semakin deras,
saya yang duduk di samping tiba-tiba berteriak ”Sialan ombak telah merengut hartaku,”Handphone kesayangan jatuh di
lautan. Beberapa
catatan dan
puisi yang aku tulis dan puisi dari orangtua angkat, Rudi Fofid asal Ambon pun
leyap bersama jatuhnya Handphone itu.
Sebuah puisipun diciptakan lagi setelah mencoba
merenung kembali bait-bait puisi Rudi Fofid yang saya ingat.
Lelaki
di ujung Samudera*
Ini
cerita laki-laki
Bersampan
kayu dari batang kenari
Ada
nama ayah di semang kiri
Ada
ibu membasuh air mata di semang kanan
Ini
cerita laki-laki
Berlayar
tinggalkan laut Halmahera
Di
ujung samudera angin datang, ombak datang
Ribuan
hari dituntun matahari
Kekasih
di ujung Halmahera tak lagi kentara
Sampan
telah menusuk jantung samudera
jangan
kembali oh laki-laki
Sebelum
menuntaskan cerita lelaki di ujung samudera
Asmat|
07 Desember 2013
*Terinspirasi
dari puisi Rudi Fofid ”Sampan Itu” untuk Faris Bobero. Puisi ini telah
hilang bersama jatuhnya Hanphone saya
di laut saat perjalanan bersampan long
Boat dari Agast menuju Mumugu Batas Batu.
Di tengah perjalanan melewati sungai kecil, tiba-tiba
hujan deras. Kita
semua basah kuyup diguyur hujan. Hari
sudah semakin sore,
jika kita paksakan
perjalanan, mungkin kita akan
bermalam di tengah hutan, di tengah hujan deras.
Beruntung sebelum gelap, kita singgah di
kampung Mumugu Bawah, letaknya kurang lebih 3-4 jam perjalanan ke Batas Batu.
Sesampai di`sana, ternyata masyarakat di Mumugu Bawah
banyak yang mengenal kita. ”Kuri datang,”
teriak salah satu pemuda yang berada di pelabuhan kecil itu, tiba-tiba semua
masyarakat berkumpul, mereka menyarankan kita untuk beristirahat di sini karena
perjalanan masih jauh. Tidak
segan-segan mereka kemudian mengangkat beberapa barang kita untuk ditempatkan
di rumah guru yang kosong.
Infrastruktur seperti satu unit gedung sekolah, tiga
rumah guru, dapur umum, balai desa, bahkan panggung dari papan, lengkap di sini
namun tidak terpakai karena belum ada aktivitas belajar-mengajar karena tidak
ada guru. Para orangtua dan beberapa anak muda yang berkumpul bersama kita
mengatakan bahwa mereka menginginkan guru-guru untuk mengajar di sini. Mereka sudah mendengar bahwa
keluarga mereka yang ada di Batas Batu sebagian sudah tahu baca tulis. Mereka
ingin hal yang sama.
Bersambung.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar