Kamis, 25 Juni 2015

Balik ke Batas Batu



Wajah riang tergambar sudah, ada long boat milik Keuskupan Agats yang akan ke Mumugu Batas Batu, tepat pada 07 Desember 2013 waktunya balik. Saat itu, hampir seluruh badan Long boat berisikan puluhan bibit anakan tanaman pohon nangka, jeruk, dan salak yang berduri itu. 50 dos besar berisi bubur menambah berat muatan.

Kali ini, saya, Pulunk, dan Ansel yang berangkat bersama dua motoris. Kita bertiga tidak dapat duduk dengan leluasa di atas long boat. Salah-salah, tertikam oleh duri pohon salak itu.
Di tengah perjalanan, arus semakin deras, saya yang duduk di samping tiba-tiba berteriak ”Sialan ombak telah merengut hartaku,”Handphone kesayangan jatuh di lautan. Beberapa catatan dan puisi yang aku tulis dan puisi dari orangtua angkat, Rudi Fofid asal Ambon pun leyap bersama jatuhnya Handphone itu.

Sebuah puisipun diciptakan lagi setelah mencoba merenung kembali bait-bait puisi Rudi Fofid yang saya ingat.

Lelaki di ujung Samudera*

Ini cerita laki-laki
Bersampan kayu dari batang kenari
Ada nama ayah di semang kiri
Ada ibu membasuh air mata di semang kanan

Ini cerita laki-laki
Berlayar tinggalkan laut Halmahera
Di ujung samudera angin datang, ombak datang
Ribuan hari dituntun matahari

Kekasih di ujung Halmahera tak lagi kentara
Sampan telah menusuk jantung samudera

jangan kembali oh laki-laki
Sebelum menuntaskan cerita lelaki di ujung samudera

Asmat| 07 Desember 2013

*Terinspirasi dari puisi Rudi Fofid ”Sampan Itu untuk Faris Bobero. Puisi ini telah hilang bersama jatuhnya Hanphone saya di laut saat perjalanan bersampan long Boat dari Agast menuju Mumugu Batas Batu.

Di tengah perjalanan melewati sungai kecil, tiba-tiba hujan deras. Kita semua basah kuyup diguyur hujan. Hari sudah semakin sore, jika kita paksakan perjalanan, mungkin kita akan bermalam di tengah hutan, di tengah hujan deras.

Beruntung sebelum gelap, kita singgah di kampung Mumugu Bawah, letaknya kurang lebih 3-4 jam perjalanan ke Batas Batu.

Sesampai di`sana, ternyata masyarakat di Mumugu Bawah banyak yang mengenal kita. ”Kuri datang,” teriak salah satu pemuda yang berada di pelabuhan kecil itu, tiba-tiba semua masyarakat berkumpul, mereka menyarankan kita untuk beristirahat di sini karena perjalanan masih jauh. Tidak segan-segan mereka kemudian mengangkat beberapa barang kita untuk ditempatkan di rumah guru yang kosong.

Infrastruktur seperti satu unit gedung sekolah, tiga rumah guru, dapur umum, balai desa, bahkan panggung dari papan, lengkap di sini namun tidak terpakai karena belum ada aktivitas belajar-mengajar karena tidak ada guru. Para orangtua dan beberapa anak muda yang berkumpul bersama kita mengatakan bahwa mereka menginginkan guru-guru untuk mengajar di sini. Mereka sudah mendengar bahwa keluarga mereka yang ada di Batas Batu sebagian sudah tahu baca tulis. Mereka ingin hal yang sama.

Bersambung.......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar