Kamis, 25 Juni 2015

Pembuatan Topeng untuk Pesta Jeti



Sabtu 19 Okt 2013

Hari ke dua setelah tiba di Mumugu Batas Batu kita belum dapat berkenalan dengan murid-murid karena mereka belum datang belajar. Ada beberapa hal ketika mereka tidak datang belajar pertama saat kehabisan makanan di rumah, mereka harus membantu orangtua ke hutan untuk memangkur sagu, bahkan mencari kayu gaharu dan kayu besi untuk di jual, kedua ketika ada long boat milik pedagang ataupun pendatang baik pemerintah maupun orang yang datang berkunjung, para murid dan beberapa orangtua akan ke pelabuhan kecil untuk memikul barang dan di kasih upah.

Dan yang tidak bisa ditinggalkan adalah kegiatan pesta Jeti. Pesta ini memakan waktu yang cukup lama, dalam setahun bisa mencapai enam-tujuh kali pesta. Mulai dari proses pembuatan topeng, perbaikan rumah Jew-menambah tungku-memperluas marga yang rencananya akan ada 14 marga yang akan mendiami Mumugu Batas Batu. Beruntung ada rentan waktu dalam pesta Jeti ini, hingga proses belajar anak-anak lebih banyak. Karena hanya pembuatan rumah Jew yang memakan waktu lama.

Permintaan pembuatan video dokumentasi Kegiatan Pesta adat/Jeti dari pastur Hendrik membuat saya banyak bersinggungan dengan masyarakat dan mengeluarkan seluruh kemampuan saya dalam bidang foto/videography. Saat itu, saya meminta ke kepala suku Daniel Menja untuk bisa ikut ke hutan melihat proses pembuatan topeng, digambarkan sebagai sosok jahat yang akan berjalan mengelilingi kampung. Topeng tersebut terbuat dari ranting-ranting pohon dan daun sagu. Di hutan, saya mencoba untuk akrab dengan mereka. Menurut adat mereka, perempuan bahkan anak-anak kecil tidak boleh ikut membuat topeng bahkan orang luar sekalipun. Kepercayaan mereka, jika anak-nak ikut melihat, mereka akan sakit bahkan sampai kehilangan nyawa.

Saya beruntung bisa melihat proses pembuatan topeng, itu berarti saya sudah diterima sebagai bagian dari mereka. Di hutan, tidak ada orang yang tahu bahwa di situ-ada proses pembuatan topeng. Sangat tersembunyi. Saya mencoba untuk meminta sedikit kopi. Setelah beberapa tegukan kopi sayaminum dari gelas mereka, mula dari situ, saya terasa akrab.Tiba-tiba salah satu orangtua mengambil pucuk sagu kemudian menyodorkan ke saya.

”Pak guru bisa makan ini ka?”Tanya orangtua itu.
Saya tidak banyak pikir, ”Bisa bapak,” kata saya.
Ini pak guru makan supaya pak guru tidak gampang sakit,” ujar orangtua itu sambil tersenyum akrab.

Selain orangtua laki-laki, ada murid laki-laki usia remaja yang juga ikut dalam proses pembuatan topeng, yang saya ingat waktu itu ada Tadius, Sempa, Mikel Nemse, dan beberapa murid lainnya. Awalnya, saya masuk ke hutan, tatapan mereka tajam kelihatan tidak begitu akrap, setelah saya minum dan makan bersama mereka, murid-murid terlihat aneh, tingkah laku mereka seakan ingin mendekati saya namun kelihatan mereka masih mencari cara untuk mendekati saya.

Akhirnya salah satu dari mereka mengupas batang pohon dan menulis nama mereka untuk mencuri perhatian saya. Tiba-tiba salah satu murid, Sempa berteriak ”Pak Guru lihat ini, Sempa sambil menunjuk menggunakan parang tulisan di pohon itu.

Saya tersenyum bangga namun kecekikan, diam-diam tertawa dalam hati. Ternyata tulisannya terbalik. Tulisan tersebut di tulis oleh Sempa, ia menulis ”Nama Saya Mikel” yang di tulis terbalik (lekiM ayaS amaN). ”Ini saya yang tulis, pak guru,” Jelas Sempa.

”ini nama kamu ya,” Tanya saya. ”Bukan, ini nama teman saya, ini dia,” katanya sambil menunjuk ke arah Mikel. Setelah dari itu, Saya kemudian akrab dengan murid-murid usia remaja. Mereka lalu bercerita bahwa Sempa pernah masuk sekolah di Sawaerma namun menurut dia terlaluh jauh dari tempat tinggal mereka, bahkan guru-guru sedikit galak jika murid lambat membaca.

 ”Bapak saya suru, saya sekolah di sini saja  dorang bilang, ada kabar dari Pastor Hendrik nantinya ada guru yang bagus mengajar untuk kita di sini. Saya ingin cepat pintar supaya bisa lanjut sekolah di luar,” Harap Sempa.

keesokan harinya, setelah pesta Jeti, murid-murid ramai berdatangan, mulai dari kelas bermain, baca tulis, dan kelas berhitung. Kita belajar di Puskesmas Pembantu (Pustu) tempat kita tinggal, kebetulan Pustu tersebut kosong, bahkan beberapa bangunan pemerintah seperti Dinas Sosial dan kantor desa belum ada aktivitas pemerintahannya. Jika ada, mungkin kita akan kebingungan melihatnya karena ada dua pemerintahan di sini, dari pemerintahan Kabupaten Agats dan Kabupaten Nduga.

Mulai Proses Belajar
”C adalah T dan R adalah S”

Proses baca-tulis terus berlanjut setelah tiga hari pertama kita di sini, murid kelihatan riang. Untuk kelas bermain, mereka kelihatan akrab dengan Pulunk yang membuat suasana baru untuk mereka. Pulunk bermain sambil belajar bersama, memperkenalkan Huruf dan bentuknya ke anak-anak. Dia menyanyikan lagu yang kelihatan baru bagi mereka namun asik karena bernyanyi sambil tepuk tangan, banting kaki, bahkan goyang pinggul, mereka kelihatan bebas merdeka, judul lagunya ”Kalau Kau Anak TK.”

Ada hal yang sulit untuk anak-anak ucapkan, baik kelas bermain, baca tulis lancar, dan kelas berhitung. Mereka, para murid-murid sering menyebut huruf  ”C” dengan Sebutan ”T” dan huruf ”R” dengan sebutan ”S”. Saya coba terus mengamati, mendengar cara ucap mereka, itu proses belajar saya sebab mereka juga guru bagi kita. Ternyata hal tersebut terpengaruh dengan bahasa daerah mereka. Huruf C dan T itu kira-kira sama penyebutannya.

Ketika mereka mengatakan ”Tepat” terdengar seperti disebutkan ”Cepat” namun jika kita mendengar dengan baik, maka akan terdengar huruf T yang samar-samar. Jadi intinya mereka tetap mengenal penempatan huruf T dan C. Antara huruf R dan S berlahan-lahan para murid bisa membedakan namun tidak T dan C yang terpengaruh oleh bahasa dan dialek setempat. Hal ini terbukti ketika kita mendengar salah satu TNI Zipur 5 asal Papua berbicara, memang dialeknya C dan T itu mirip dalam penyebutan,begitu juga para orangtua.Tinggal kita pahami saja.
 

Bersambung.............

Tidak ada komentar:

Posting Komentar