Sabtu
19 Okt 2013
Hari ke dua setelah tiba di Mumugu Batas Batu kita
belum dapat berkenalan dengan murid-murid karena mereka belum datang belajar.
Ada beberapa hal ketika mereka tidak datang belajar pertama saat kehabisan makanan
di rumah, mereka harus membantu
orangtua ke hutan untuk memangkur sagu, bahkan mencari kayu gaharu dan kayu besi
untuk di jual, kedua
ketika ada long boat milik pedagang
ataupun pendatang baik pemerintah maupun orang yang datang berkunjung, para
murid dan beberapa orangtua akan ke pelabuhan kecil untuk memikul barang dan di
kasih upah.
Dan yang tidak bisa ditinggalkan adalah kegiatan
pesta Jeti. Pesta
ini memakan waktu yang cukup lama, dalam setahun bisa mencapai enam-tujuh kali pesta.
Mulai dari proses pembuatan topeng, perbaikan
rumah Jew-menambah tungku-memperluas
marga yang rencananya akan
ada 14 marga yang akan mendiami Mumugu Batas Batu. Beruntung ada rentan waktu
dalam pesta Jeti ini,
hingga proses belajar anak-anak lebih banyak. Karena hanya pembuatan rumah Jew
yang memakan waktu lama.
Permintaan pembuatan video dokumentasi Kegiatan
Pesta adat/Jeti dari pastur Hendrik membuat saya banyak bersinggungan
dengan masyarakat dan mengeluarkan seluruh kemampuan saya dalam bidang
foto/videography. Saat itu, saya meminta ke kepala suku Daniel Menja untuk bisa
ikut ke hutan melihat proses pembuatan topeng, digambarkan sebagai sosok jahat yang akan
berjalan mengelilingi kampung. Topeng tersebut terbuat dari ranting-ranting
pohon dan daun sagu. Di
hutan, saya
mencoba untuk akrab dengan mereka. Menurut adat mereka, perempuan bahkan
anak-anak kecil tidak boleh ikut membuat topeng bahkan orang luar sekalipun. Kepercayaan mereka,
jika anak-nak ikut melihat, mereka akan sakit bahkan sampai kehilangan nyawa.
Saya beruntung bisa melihat proses pembuatan topeng,
itu berarti saya sudah diterima sebagai bagian dari mereka. Di
hutan, tidak ada orang yang tahu bahwa di situ-ada proses pembuatan topeng.
Sangat tersembunyi. Saya
mencoba untuk meminta sedikit kopi. Setelah beberapa tegukan kopi sayaminum
dari gelas mereka, mula dari situ, saya terasa akrab.Tiba-tiba salah satu
orangtua mengambil pucuk sagu kemudian menyodorkan ke saya.
”Pak
guru bisa makan ini ka?”Tanya orangtua itu.
Saya tidak
banyak pikir, ”Bisa bapak,” kata saya.
”Ini pak guru makan supaya pak guru tidak gampang
sakit,” ujar orangtua itu sambil tersenyum
akrab.
Selain orangtua laki-laki, ada murid laki-laki usia
remaja yang juga ikut dalam proses pembuatan topeng, yang saya ingat waktu itu
ada Tadius, Sempa, Mikel Nemse, dan beberapa murid lainnya. Awalnya, saya masuk ke hutan, tatapan
mereka tajam kelihatan tidak begitu akrap, setelah saya minum dan makan bersama
mereka, murid-murid terlihat aneh, tingkah laku mereka seakan ingin mendekati saya
namun kelihatan mereka masih mencari cara untuk mendekati saya.
Akhirnya salah satu dari mereka mengupas batang
pohon dan menulis nama mereka untuk mencuri perhatian saya. Tiba-tiba salah satu
murid, Sempa berteriak ”Pak Guru lihat
ini,”
Sempa sambil menunjuk menggunakan
parang tulisan di pohon itu.
Saya tersenyum bangga namun kecekikan, diam-diam
tertawa dalam hati. Ternyata
tulisannya terbalik. Tulisan tersebut di tulis oleh Sempa, ia menulis ”Nama
Saya Mikel” yang di tulis terbalik (lekiM ayaS amaN). ”Ini saya yang tulis, pak guru,” Jelas Sempa.
”ini
nama kamu ya,” Tanya saya. ”Bukan, ini nama teman saya, ini dia,” katanya sambil menunjuk ke
arah Mikel. Setelah dari itu, Saya kemudian akrab dengan murid-murid usia
remaja. Mereka lalu bercerita bahwa Sempa pernah masuk sekolah di Sawaerma
namun menurut dia terlaluh jauh dari tempat tinggal mereka, bahkan guru-guru
sedikit galak jika murid lambat membaca.
”Bapak saya suru,
saya sekolah di sini saja dorang bilang, ada kabar dari Pastor
Hendrik nantinya ada guru yang bagus mengajar untuk
kita di sini. Saya ingin cepat pintar supaya bisa lanjut sekolah di luar,”
Harap Sempa.
keesokan harinya, setelah pesta Jeti, murid-murid
ramai berdatangan,
mulai dari kelas bermain, baca tulis, dan kelas berhitung. Kita belajar di
Puskesmas Pembantu (Pustu) tempat kita tinggal, kebetulan Pustu tersebut
kosong, bahkan beberapa bangunan pemerintah seperti Dinas Sosial dan kantor
desa belum ada aktivitas pemerintahannya.
Jika ada, mungkin kita
akan kebingungan melihatnya karena ada dua pemerintahan di sini, dari pemerintahan
Kabupaten Agats dan Kabupaten Nduga.
Mulai Proses Belajar
”C adalah T dan R adalah S”
Proses baca-tulis terus berlanjut setelah tiga hari
pertama kita di sini, murid
kelihatan riang. Untuk kelas bermain, mereka kelihatan akrab dengan Pulunk yang
membuat suasana baru untuk mereka. Pulunk bermain sambil belajar bersama,
memperkenalkan Huruf dan bentuknya ke anak-anak. Dia menyanyikan lagu
yang kelihatan baru bagi mereka namun asik karena bernyanyi sambil tepuk
tangan, banting kaki, bahkan goyang pinggul, mereka kelihatan bebas merdeka,
judul lagunya ”Kalau Kau Anak TK.”
Ada hal yang sulit untuk anak-anak ucapkan, baik
kelas bermain, baca tulis lancar, dan kelas berhitung. Mereka, para murid-murid
sering menyebut huruf ”C” dengan Sebutan ”T”
dan huruf ”R” dengan sebutan ”S”. Saya coba terus mengamati, mendengar cara
ucap mereka, itu proses belajar saya sebab
mereka juga guru bagi kita. Ternyata hal tersebut
terpengaruh dengan bahasa daerah mereka. Huruf C dan T itu kira-kira sama penyebutannya.
Ketika mereka mengatakan ”Tepat” terdengar seperti
disebutkan ”Cepat” namun jika kita mendengar dengan baik, maka akan terdengar
huruf T yang samar-samar. Jadi intinya mereka tetap mengenal penempatan huruf T
dan C. Antara huruf R dan S
berlahan-lahan para murid bisa membedakan namun tidak T dan C yang terpengaruh
oleh bahasa dan dialek setempat. Hal ini terbukti ketika kita mendengar salah
satu TNI Zipur 5 asal Papua berbicara, memang dialeknya C dan T itu mirip dalam
penyebutan,begitu juga para orangtua.Tinggal kita pahami saja.
Bersambung.............
Tidak ada komentar:
Posting Komentar