Kamis 17Okt 2013
Hari itu tepat pukul 10.00 WIT. Guru
Sokola Rimba, saya, Pulunk, Habibi
bersama dua orang motoris Paman dan Lukas bertolak dari Agats menuju Mumugu
Batas Batu menggunakan Long Boat
bermesin 40 PK. Cuaca hari itu cukup mendukung meskipun panas matahari hampir
membakar seluruh tubuh. Asalkan jangan hujan lebat, arus akan semakin deras dan kita akan lebih lama sampai ke Batas Batu.
Perjalanan ke Batas Batu memakan waktu kurang lebih 6-7 jam itu pun jika tidak hujan deras. Jika hujan, arus di sungai akan
semakin deras, banyak pepohonan yang tumbang membuat kita harus hati-hati.
Kadang, perjalanan bisa mencapai dua hari-dua malam jika cuaca tidak mendukung.
Sesampai di Mumugu Batas Batu pukul 16.30 WIT. Para murid
menjemput kita. Kebetulan hari itu mereka sedang bermain di sungai. Mereka
kelihatan bersahabat meskipun sedikit diam sambil memandang saya dan Pulunk
penuh curiga. Mungkin, bagi mereka, kita terlihat sebagai orang baru di mata
mereka.
”Anak-anak, mari, ke sini. Ini ada pak guru baru, dua orang, seperti yang saya janji to akan
membawa guru untuk kalian,” kata Habibi sambil memanggil anak-anak yang
sedang mandi di Sungai.Mereka yang tadi menatap tajam kemudian berlari
mendekati kita.
”Mana
barang-barang pak guru, sini kita angkat,” teriak murid-murid yang kelihatan
semangat setelah mendengar kata Habibi yang ternyata telah berjanji ke
murid-murid untuk menambah guru baru yaitu saya dan Pulunk.
Keesokan harinya, saya dan Pulunk diajak oleh Anselmus S.
Prera (Ansel) untuk memperkenalkan diri ke Ketua Adat Daniel Menja ke masyarakat
di Rumah Jew (Rumah Bujang) tempat berkumpulnya lak-laki dewasa. Di Rumah Jew,
ada empat marga besar yang bertugas mengatur dusun mereka masing-masing.
Solidaritas mereka terbangun di rumah itu. Kegiatan peribadatan, pesta, dan menerima
tamu dari luar selalu dilaksanakan di situ.
”Selamat
siang ketua adat dan bapak-bapak, ini kita mau perkenalkan dua orang guru baru
dari perkumpulan Sokola Rimba yang akan mengajarkan anak-anak baca tulis
di sini.Guru-guru ini berbeda dengan guru-guru dari pemerintah. Mereka (Guru
Sokola Rimba) mau tinggal berdekatan bersama masyarakat di sini, nanti mereka
perkenakan mereka sendiri dan asal mereka,” kata Ansel, seorang guru katekis
dari Keuskupan Agats yang juga bekerja sama dengan kita. Kepala Suku Daniel
Menja langsung mempersilahkan Pulunk dan saya berkenalan.
Dalam
perkenalan itu, dialek Pulunk terlihat kaku bagi mereka dengan bahasa Indonesia
yang baik dan benar, maklum Pulunk belum menyesuaikan bahasa dan logat daerah
Papua sedangkan saya memperkenalkan diri dengan logat yang sudah
menyesuaikan bahasa Papua karena hampir mirip dengan logat bahasa hari-hari Maluku
Utara tempat kelahiran saya.
”Oh!
Oh?” suara yang keluar dari mulut para bapak-bapak yang ada di rumah Jew,
sambil mangut-mangut seakan tahu asal daerah Pulunk dan saya. hehehe. Padahal
kebayakan dari bapak-bapak yang ada itu belum merantau keluar dari daerah
Papua.
Mulai Proses Belajar
”C adalah T dan R adalah S”
Proses baca-tulis terus berlanjut setelah tiga hari
pertama kita di sini, murid
kelihatan riang. Untuk kelas bermain, mereka kelihatan akrab dengan Pulunk yang
membuat suasana baru untuk mereka. Pulunk bermain sambil belajar bersama,
memperkenalkan Huruf dan bentuknya ke anak-anak. Dia menyanyikan lagu
yang kelihatan baru bagi mereka namun asik karena bernyanyi sambil tepuk
tangan, banting kaki, bahkan goyang pinggul, mereka kelihatan bebas merdeka,
judul lagunya ”Kalau Kau Anak TK.”
Ada hal yang sulit untuk anak-anak ucapkan, baik
kelas bermain, baca tulis lancar, dan kelas berhitung. Mereka, para murid-murid
sering menyebut huruf ”C” dengan Sebutan ”T”
dan huruf ”R” dengan sebutan ”S”. Saya coba terus mengamati, mendengar cara
ucap mereka, itu proses belajar saya sebab
mereka juga guru bagi kita. Ternyata hal tersebut
terpengaruh dengan bahasa daerah mereka. Huruf C dan T itu kira-kira sama penyebutannya.
Ketika mereka mengatakan ”Tepat” terdengar seperti
disebutkan ”Cepat” namun jika kita mendengar dengan baik, maka akan terdengar
huruf T yang samar-samar. Jadi intinya mereka tetap mengenal penempatan huruf T
dan C. Antara huruf R dan S
berlahan-lahan para murid bisa membedakan namun tidak T dan C yang terpengaruh
oleh bahasa dan dialek setempat. Hal ini terbukti ketika kita mendengar salah
satu TNI Zipur 5 asal Papua berbicara, memang dialeknya C dan T itu mirip dalam
penyebutan,begitu juga para orangtua.Tinggal kita pahami saja.
Bersambung........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar