Kamis, 25 Juni 2015

Awal guru Sokola Rimba ke Batas Batu


Kamis 17Okt 2013

Hari itu tepat pukul 10.00 WIT. Guru Sokola Rimba, saya, Pulunk,  Habibi bersama dua orang motoris Paman dan Lukas bertolak dari Agats menuju Mumugu Batas Batu menggunakan Long Boat bermesin 40 PK. Cuaca hari itu cukup mendukung meskipun panas matahari hampir membakar seluruh tubuh. Asalkan jangan hujan lebat, arus akan semakin deras dan kita akan lebih lama sampai ke Batas Batu.

Perjalanan ke Batas Batu memakan waktu kurang lebih 6-7 jam  itu pun jika tidak hujan deras. Jika hujan, arus di sungai akan semakin deras, banyak pepohonan yang tumbang membuat kita harus hati-hati. Kadang, perjalanan bisa mencapai dua hari-dua malam jika cuaca tidak mendukung.

Sesampai di Mumugu Batas Batu pukul 16.30 WIT. Para murid menjemput kita. Kebetulan hari itu mereka sedang bermain di sungai. Mereka kelihatan bersahabat meskipun sedikit diam sambil memandang saya dan Pulunk penuh curiga. Mungkin, bagi mereka, kita terlihat sebagai orang baru di mata mereka.  
”Anak-anak, mari, ke sini. Ini ada pak guru baru, dua orang, seperti yang saya janji to akan membawa guru untuk kalian, kata Habibi sambil memanggil anak-anak yang sedang mandi di Sungai.Mereka yang tadi menatap tajam kemudian berlari mendekati kita.

”Mana barang-barang pak guru, sini kita angkat,” teriak murid-murid yang kelihatan semangat setelah mendengar kata Habibi yang ternyata telah berjanji ke murid-murid untuk menambah guru baru yaitu saya dan Pulunk.

Keesokan harinya, saya dan Pulunk diajak oleh Anselmus S. Prera (Ansel) untuk memperkenalkan diri ke Ketua Adat Daniel Menja ke masyarakat di Rumah Jew (Rumah Bujang) tempat berkumpulnya lak-laki dewasa. Di Rumah Jew, ada empat marga besar yang bertugas mengatur dusun mereka masing-masing. Solidaritas mereka terbangun di rumah itu. Kegiatan peribadatan, pesta, dan menerima tamu dari luar selalu dilaksanakan di situ.

”Selamat siang ketua adat dan bapak-bapak, ini kita mau perkenalkan dua orang guru baru dari perkumpulan Sokola Rimba yang akan mengajarkan anak-anak baca tulis di sini.Guru-guru ini berbeda dengan guru-guru dari pemerintah. Mereka (Guru Sokola Rimba) mau tinggal berdekatan bersama masyarakat di sini, nanti mereka perkenakan mereka sendiri dan asal mereka,” kata Ansel, seorang guru katekis dari Keuskupan Agats yang juga bekerja sama dengan kita. Kepala Suku Daniel Menja langsung mempersilahkan Pulunk dan saya berkenalan.

Dalam perkenalan itu, dialek Pulunk terlihat kaku bagi mereka dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, maklum Pulunk belum menyesuaikan bahasa dan logat daerah Papua sedangkan saya memperkenalkan diri dengan logat yang sudah menyesuaikan bahasa Papua karena hampir mirip dengan logat bahasa hari-hari Maluku Utara tempat kelahiran saya.

”Oh! Oh?” suara yang keluar dari mulut para bapak-bapak yang ada di rumah Jew, sambil mangut-mangut seakan tahu asal daerah Pulunk dan saya. hehehe. Padahal kebayakan dari bapak-bapak yang ada itu belum merantau keluar dari daerah Papua.


Mulai  Proses Belajar

”C adalah T dan R adalah S”

Proses baca-tulis terus berlanjut setelah tiga hari pertama kita di sini, murid kelihatan riang. Untuk kelas bermain, mereka kelihatan akrab dengan Pulunk yang membuat suasana baru untuk mereka. Pulunk bermain sambil belajar bersama, memperkenalkan Huruf dan bentuknya ke anak-anak. Dia menyanyikan lagu yang kelihatan baru bagi mereka namun asik karena bernyanyi sambil tepuk tangan, banting kaki, bahkan goyang pinggul, mereka kelihatan bebas merdeka, judul lagunya ”Kalau Kau Anak TK.”

Ada hal yang sulit untuk anak-anak ucapkan, baik kelas bermain, baca tulis lancar, dan kelas berhitung. Mereka, para murid-murid sering menyebut huruf  ”C” dengan Sebutan ”T” dan huruf ”R” dengan sebutan ”S”. Saya coba terus mengamati, mendengar cara ucap mereka, itu proses belajar saya sebab mereka juga guru bagi kita. Ternyata hal tersebut terpengaruh dengan bahasa daerah mereka. Huruf C dan T itu kira-kira sama penyebutannya.

Ketika mereka mengatakan ”Tepat” terdengar seperti disebutkan ”Cepat” namun jika kita mendengar dengan baik, maka akan terdengar huruf T yang samar-samar. Jadi intinya mereka tetap mengenal penempatan huruf T dan C. Antara huruf R dan S berlahan-lahan para murid bisa membedakan namun tidak T dan C yang terpengaruh oleh bahasa dan dialek setempat. Hal ini terbukti ketika kita mendengar salah satu TNI Zipur 5 asal Papua berbicara, memang dialeknya C dan T itu mirip dalam penyebutan,begitu juga para orangtua.Tinggal kita pahami saja.

Bersambung........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar