Kamis, 25 Juni 2015

Baca Tulis di Rumah Jew



Jumat 25 Okt 2013

Hari ini kelihatan sepi, sudah tiga hari hanya beberapa murid yang datang. Sebagian yang lain ikut sebagai buruh pangul di pelabuhan kecil karena ada banyak barang dagangan yang masuk milik Herman, salah satu pedagang di Mumugu Batas Batu.

Beberapa murid di kelompok saya mengajar, tidak ikut ke pelabuhan untuk angkut barang tapi mereka juga tidak datang ke Pustu untuk belajar sementara murid Pulunk di kelompok bermain ramai mengerumuni halaman Pustu. Saya kemudian mengambil papan tulis dan beberapa kapur sambil berjalan ke rumah Jew.

Beruntung, setelah di rumah Jew ada enam orang murid. Saya mencoba tidak langsung mengajak mereka untuk belajar meskipun sudah terlihat di mata mereka ada papan tulis yang saya tenteng.”Kalian tidak angkat barang ka,” Tanya saya.

Ternyata yang ikut mengakut barang sudah di catat nama-namanya oleh pemilik barang. Mereka di bagi dalam dua kelompok, ada yang bekerja sampai malam untuk pikul semen.

”Pak guru bawa papan tulis, ayo kita belajar di Jew suda,”ujar Akim Bam. Saya tersenyum. Ternyata mereka mau belajar. Mereka tidak ke Pustu karena malu dengan murid-murid di kelas bermain, karena sebagian besar dari mereka belum mengenal huruf sedangkan di kelas bermain sebagain sudah mengenal huruf abjad.

Di sela-sela dan akhir belajar, selain bertukar pendapat dengan mereka, kita selalu  katakan bahwa belajar adalah proses, jangan takut salah dan malu selain itu jangan berpikir tentang kalian kelas berapa, yang terpenting kalian tahu dulu. Mereka kemudian mangut-mangut.”Wah.. mereka seakan mengatakan paham.”

Mungkin, salah satu proses belajar seperti ini, adalah proses pendekatan dengan murid, membut mereka senang dengan keberadaan guru Sokola. Padahal, sebelumnya mereka pernah mengusir guru PNS yang ditugasi untuk mengajar di Batas Batu oleh pemerintah Kabupaten Agats.

Minggu berikutnya, murid-murid di kelompok saya tidak canggung lagi belajar berdekatan dengan kelompok bermain dan kelompok berhitung. Mereka bersemangat belajar, saya selalu bilang, kalian, murid di kelompok saya harus bisa lebih dari kelompok berhitung di kelas pak guru Habibi,

”Tapi ingat, tidak boleh sombong karena yang kita dapat itu baru sedikit. Setiap hari adalah belajar.”

Diusir dari Rumah Jew

Dari 11 orang murid di kelompok saya ternyata lebih senang belajar di rumah Jew, menurut mereka, belajar di Jew lebih leluasa. Mereka dapat bertanya bebas dan tidak malu-malu sebab tidak ada murid kelompok bermain. Namun, setelah beberapa kali saya dengan murid-murid belajar di rumah Jew, ada sala satu orang tua yang sering memperhatikan, mengamati kita dengan nanar.

Bapak itu seakan-akan melihat proses belajar adalah dunia asing baginya dan tidak berguna. Pagi itu saya menenteng papan tulis menuju rumah Jew, murid-murid sudah menunggu di depan Rumah Jew. Ketika saya sampai di depan Jew, sebelum masuk, salahsatu orangtua itu langsung beranjak duduk di depan pintu Jew.

Kuri, Ko kenapa ke sini! kalau mau mengjar di luar saja. Jangan di sini.saya panah ko nanti!”

Sontak, saya terkejut dengan perkataan orangtua itu. Saya tidak mengelurkan kata sedikitpun untuk merespon orang tua itu. Murid-murid yang duduk di depan rumah Jew terdiam. Hanya Sempa yang berceloteh. ”Pak Guru! Sudah, kita belajar di Pustu saja!”

Mulai dari situ, murid-murid di kelompok saya, belajar berdampingan dengan murid-murid di kelompok bermain. Kejadian orangtua yang mengatakan akan memanah saya, tidak saya ceritakan ke Pulunk dan Habibi. 

Bersambung..............

1 komentar:

  1. Cerita yang menarik, kadang pendidikan butuh kesabaran. Sebagai pengajar, kita dituntut bermental baja dan senantiasa mengikuti kemauan lingkungan.. Saya masih penasaran dengan semangat para murid polos itu. Saya juga penasaran dengan kisah mereka dengan pak guru habibi. Saya menunggu cerita lanjutannya.. :D

    BalasHapus