Jumat
25 Okt 2013
Hari ini kelihatan sepi, sudah tiga hari hanya
beberapa murid yang datang.
Sebagian yang lain ikut sebagai buruh pangul di pelabuhan kecil karena ada banyak
barang dagangan yang masuk milik Herman,
salah satu pedagang di Mumugu Batas Batu.
Beberapa murid di kelompok saya mengajar, tidak ikut ke
pelabuhan untuk angkut barang tapi mereka juga tidak datang ke Pustu untuk belajar
sementara murid Pulunk di kelompok bermain ramai mengerumuni halaman Pustu. Saya kemudian mengambil
papan tulis dan beberapa kapur sambil berjalan ke rumah Jew.
Beruntung, setelah di rumah Jew ada enam orang murid. Saya mencoba tidak
langsung mengajak mereka untuk belajar meskipun sudah terlihat di mata mereka
ada papan tulis yang saya tenteng.”Kalian tidak angkat barang ka,” Tanya
saya.
Ternyata yang ikut mengakut barang sudah di catat
nama-namanya oleh pemilik barang. Mereka
di bagi dalam dua kelompok, ada yang bekerja sampai malam untuk pikul semen.
”Pak
guru bawa papan tulis, ayo kita belajar di Jew suda,”ujar
Akim Bam. Saya
tersenyum. Ternyata mereka mau belajar. Mereka tidak ke Pustu
karena malu dengan murid-murid di kelas bermain, karena sebagian besar dari mereka belum
mengenal huruf sedangkan di kelas bermain sebagain sudah mengenal huruf abjad.
Di sela-sela dan akhir belajar, selain bertukar pendapat
dengan mereka, kita
selalu katakan bahwa belajar adalah
proses, jangan takut salah dan malu selain itu jangan berpikir tentang kalian
kelas berapa, yang terpenting kalian tahu dulu. Mereka kemudian mangut-mangut.”Wah.. mereka seakan
mengatakan paham.”
Mungkin,
salah satu proses belajar seperti ini, adalah
proses pendekatan dengan murid, membut
mereka senang dengan keberadaan guru Sokola. Padahal, sebelumnya mereka pernah
mengusir guru PNS yang ditugasi untuk mengajar di Batas Batu oleh pemerintah
Kabupaten Agats.
Minggu berikutnya, murid-murid di kelompok saya
tidak canggung lagi belajar berdekatan dengan kelompok bermain dan kelompok
berhitung. Mereka bersemangat belajar, saya selalu bilang, kalian, murid di
kelompok saya harus bisa lebih dari kelompok berhitung di kelas pak guru
Habibi,
”Tapi
ingat, tidak boleh sombong karena yang kita dapat itu baru sedikit. Setiap hari
adalah belajar.”
Diusir
dari Rumah Jew
Dari 11 orang murid di kelompok saya ternyata lebih
senang belajar di rumah Jew, menurut mereka, belajar di Jew lebih leluasa. Mereka dapat bertanya
bebas dan tidak malu-malu sebab tidak ada murid kelompok bermain. Namun, setelah beberapa
kali saya dengan murid-murid belajar di rumah Jew, ada sala satu orang tua yang
sering memperhatikan, mengamati kita dengan nanar.
Bapak itu seakan-akan melihat proses belajar adalah
dunia asing baginya dan tidak berguna. Pagi itu saya menenteng papan tulis
menuju rumah Jew, murid-murid sudah menunggu di depan Rumah Jew. Ketika saya
sampai di depan Jew, sebelum masuk, salahsatu orangtua itu langsung beranjak
duduk di depan pintu Jew.
”Kuri, Ko kenapa ke sini!
kalau mau mengjar di luar saja. Jangan di sini.saya panah ko nanti!”
Sontak, saya terkejut dengan perkataan orangtua itu. Saya tidak mengelurkan
kata sedikitpun untuk merespon orang tua itu. Murid-murid
yang duduk di depan rumah Jew terdiam. Hanya Sempa yang berceloteh. ”Pak
Guru! Sudah, kita belajar di Pustu saja!”
Mulai dari situ, murid-murid di kelompok saya,
belajar berdampingan dengan murid-murid di kelompok bermain. Kejadian orangtua
yang mengatakan akan memanah saya, tidak saya ceritakan ke Pulunk dan Habibi.
Bersambung..............
Cerita yang menarik, kadang pendidikan butuh kesabaran. Sebagai pengajar, kita dituntut bermental baja dan senantiasa mengikuti kemauan lingkungan.. Saya masih penasaran dengan semangat para murid polos itu. Saya juga penasaran dengan kisah mereka dengan pak guru habibi. Saya menunggu cerita lanjutannya.. :D
BalasHapus