Kamis, 25 Juni 2015

Mimpi itu Kenyataan (Belajar di Taman Nasional Lorentz)

12 Desember 2013

 Mimpi saya sebelumnya ternyata menjadi kenyataan, Belajar sambil bermain bersama murid-murid di seberang sungai tepatnya di lokasi Taman Nasional Lorentz, hanya mimpi bertemu dengan buaya yang tidak menjadi kenyataan. Kebetulan pagi itu, 70 anggota TNI (Zipur dan Yalet) yang ikut mendiami Pustu tempat kita tinggal, mendapat kunjungan Jenderal, jadi kita menghabisan waktu bersama murid-murid sampai sore hari.

Untuk sampai ke lokasi taman nasional itu, saya, Pulunk, dan Ansel, bersama murid-murid menggunakan dua sampan melewati lebar sungai kurang lebih 30 meter dengan arus deras untuk sampai ke lokasi taman nasional itu, sementara Ansel dan beberapa murid memilih berenang, mencari celah yang arusnya tidak deras. Sesampai di sana, beberapa murid perempuan bersama Pulunk membuat api untuk memasak bubur, murid yang lain mencari kayu bakar dan membawa Kaluang (Sejenis kelelawar) hasil buruan semalam. Saya dan beberapa murid membuat bivak sederhana untuk tempat belajar dan beristirahat.

Sebelum makanan matang, kita bermain bola kaki, saking senangnya Tadius, salah satu murid berteriak saat bola keluar lapangan. ”Bola haus! Tepat… Tepat! Lempar!” teriak Tadius. Semuanya tertawa. Maksudnya bola out namun ia sebut haus dan Tepat! Tepat! Maksudnya cepat! Cepat! Lempar bolanya.

Tidak terasa, hari sudah semakin sore. Awan terlihat gelap dan angin kencang sepertinya mau hujan. Sebelumnya siang harinya murid perempuan sudah balik, satu sampan yang mereka tinggalkan ternyata bocor dan hanya ditempel menggunakan lumpur. Saya, Ansel, Pulunk dan beberapa murid pulang menggunakan sampan yang bocor itu. Seluruh badan sampan tidak ada cela kosong, penuh ditumpangi, sore itu arus semakin deras.

Sebelum sampai ke tengah sungai, air sudah masuk ke sampan, saya mencoba menutup badan sampan yang bocor itu dengan kedua telapak tangan dan kaki. ”Ayo kita balik dulu, perahu kita akan tenggelam sebelum sampai,” ujar saya yang khawatir namun Tadius yang mendayung meyakinkan bahwa kita akan sampai sebelum perahu tenggelam.

Sesampai di tengah sungai semua sudah basah. Tas yang berisi kamera terapung di dalam sampan yang penuh dengan air. Kita mulai panik ”hoi!!!ho!!!” terik saya, Ansel, dan Pulunk ”Saya baru merasakan pengalaman seperti ini,” kata Pulunk sambil tertawa dalam kepanikan. 

Bersambung...........

Bermain Sambil Belajar



10 Desember 2013

Sebelumnya saya, Pulunk, dan Ansel sudah menyusun rencana belajar di luar ruangan beratapkan awan, berdindingkan hutan. Murid usia remaja dan murid kelas bermain bisa belajar sambil bermain bersama.
Kali ini di seberang sungai, pelabuhan kecil menjadi tempat target kita belajar bersama murid. Ansel dan Pulunk mulai memberikan beberapa pertanyaan. Semua murid mulai membuat lingkaran berdiri sama-sama. Sementara beberapa murid yang lain membuat api untuk memasak buat makan siang bersama.”Apa yang kalian ketahui tentang sekolah. Sekolah itu untuk apa?”Tanya Ansel ke murid-murid.

Murid-murid yang tadinya gaduh terpaku diam. Tiba-tiba salah satu murid bersuara ”Sekolah untuk pintar!” Pulunk mengajak yang lain juga untuk berbicara, ”Sekolah untuk jadi manusia,” celetuk Steven. Mendengar peryataan Steven, Pulunk, saya, dan Ansel terpaku.

Setelah itu Ansel memberikan soal Matematika dengan bentuk bercerita. Murid-murid mulai terlihat menyembunyikan jarinya sambil berhitung, murid yang lain mencoba menghapal dalam hati.

Sementara Pulunk dan Ansel bertanya pada murid, saya asik bermain dengan murid-murid yang lain, membuat trik baru seperti berolahraga. Semua tangan dan kaki bergerak sambil menghitung mundur dan selesai dengan berteriak bersama ”Sekola untuk Kehidupan”. Keceriaan pun tergambar di wajah murid-murid. Keesokan harinya, murid-murid mulai kegiatan memotong rumput dan menanam bibit jagung di halaman sekolah.

Bersambung..............

Balik ke Batas Batu



Wajah riang tergambar sudah, ada long boat milik Keuskupan Agats yang akan ke Mumugu Batas Batu, tepat pada 07 Desember 2013 waktunya balik. Saat itu, hampir seluruh badan Long boat berisikan puluhan bibit anakan tanaman pohon nangka, jeruk, dan salak yang berduri itu. 50 dos besar berisi bubur menambah berat muatan.

Kali ini, saya, Pulunk, dan Ansel yang berangkat bersama dua motoris. Kita bertiga tidak dapat duduk dengan leluasa di atas long boat. Salah-salah, tertikam oleh duri pohon salak itu.
Di tengah perjalanan, arus semakin deras, saya yang duduk di samping tiba-tiba berteriak ”Sialan ombak telah merengut hartaku,”Handphone kesayangan jatuh di lautan. Beberapa catatan dan puisi yang aku tulis dan puisi dari orangtua angkat, Rudi Fofid asal Ambon pun leyap bersama jatuhnya Handphone itu.

Sebuah puisipun diciptakan lagi setelah mencoba merenung kembali bait-bait puisi Rudi Fofid yang saya ingat.

Lelaki di ujung Samudera*

Ini cerita laki-laki
Bersampan kayu dari batang kenari
Ada nama ayah di semang kiri
Ada ibu membasuh air mata di semang kanan

Ini cerita laki-laki
Berlayar tinggalkan laut Halmahera
Di ujung samudera angin datang, ombak datang
Ribuan hari dituntun matahari

Kekasih di ujung Halmahera tak lagi kentara
Sampan telah menusuk jantung samudera

jangan kembali oh laki-laki
Sebelum menuntaskan cerita lelaki di ujung samudera

Asmat| 07 Desember 2013

*Terinspirasi dari puisi Rudi Fofid ”Sampan Itu untuk Faris Bobero. Puisi ini telah hilang bersama jatuhnya Hanphone saya di laut saat perjalanan bersampan long Boat dari Agast menuju Mumugu Batas Batu.

Di tengah perjalanan melewati sungai kecil, tiba-tiba hujan deras. Kita semua basah kuyup diguyur hujan. Hari sudah semakin sore, jika kita paksakan perjalanan, mungkin kita akan bermalam di tengah hutan, di tengah hujan deras.

Beruntung sebelum gelap, kita singgah di kampung Mumugu Bawah, letaknya kurang lebih 3-4 jam perjalanan ke Batas Batu.

Sesampai di`sana, ternyata masyarakat di Mumugu Bawah banyak yang mengenal kita. ”Kuri datang,” teriak salah satu pemuda yang berada di pelabuhan kecil itu, tiba-tiba semua masyarakat berkumpul, mereka menyarankan kita untuk beristirahat di sini karena perjalanan masih jauh. Tidak segan-segan mereka kemudian mengangkat beberapa barang kita untuk ditempatkan di rumah guru yang kosong.

Infrastruktur seperti satu unit gedung sekolah, tiga rumah guru, dapur umum, balai desa, bahkan panggung dari papan, lengkap di sini namun tidak terpakai karena belum ada aktivitas belajar-mengajar karena tidak ada guru. Para orangtua dan beberapa anak muda yang berkumpul bersama kita mengatakan bahwa mereka menginginkan guru-guru untuk mengajar di sini. Mereka sudah mendengar bahwa keluarga mereka yang ada di Batas Batu sebagian sudah tahu baca tulis. Mereka ingin hal yang sama.

Bersambung.......

Kejenuhan dan Rindu



Tidak terasa sudah seminggu lebih kita masih di Agats, padahal rencananya hanya tujuh hari di sini. Habibi yang rencananya kembali ke Makassar belum juga mendapat jadwal penerbangan yang pasti hingga tanggal 03 Desember 2013 baru ia mendapatkan tiket. Sementara jadwal berangkat saya dan Pulunk untuk kembalik ke Batas batu tertunda hinggal tanggal 07 Desember.

Jenuh mulai menghampiri, sosok murid-murid yang selalu belajar bersama kita siang dan malam mulai membayangi hari-hari kita, kali ini tinggal saya dan Pulunk setelah Habibi berangkat. Sementara ibu Maria masih sakit dan harus dirawat di rumah sakit, sampai kita kembali ke lokasi, ibu Maria harus dirujuk ke Timika.

Saking rindunya seorang guru Sokola Rimba terhadap muridnya, beberapa puisi saya pun tercipta dan beberapa bait terakhir puisinya di tambah oleh Pulunk, berikut puisinya.

Memahami Gelap Malam
Karya Faris Bobero & Kusnul Wahyu

Sahabat muridku
Aku tak tahu lagi harus menyayikan lagu apa
Lagu kemerdekaan ataukah lagu duka untuk kita

Sahabat muridku
Aku tak tahu lagi menjelaskan perubahan lajunya kerajaan di kota terang
Mari kita pahami gelap malam
Mungkin dia akan menjawab bahwa setelah rembulan padam dan pagi akan kembali

Itu cerita masa depan?
Ataukah itu roda kehidupan?

Sahabat muridku
Mari kita berandai, seperti kita bisa menenun hujan jadikan lembaran kain untuk seragam jiwa
Supaya kita selalu berhati damai, sejuk, dan bahagia

Sahabat muridku bersama kita belajar
Mari kita bertanya pada alam
sang guru yang hampir padam.
Agats, Asmat| 04 Desember 2013